[KBR|Warita Desa] Jakarta | Rencana pemerintah yang akan mengganti sertifikat tanah konvensional dengan sertifikat elektronik dikhawatirkan memperparah persoalan sengketa lahan yang selama ini terjadi di Indonesia.
Menurut Koordinator Serikat Petani Pasundan Garut, Yudi Kurnia, proses verifikasi lahan justru merugikan rakyat yang tengah bersengketa lahan, baik dengan pemerintah atau perusahaan.
"Karena masih banyak di tanah adat di daerah yang belum bersertifikat. Asal usul tanahnya ini yang harus diteliti. Kalau online siapa yang mengakses online? Mungkin merekalah (pemerintah, red) yang punya akses terhadap sertifikat itu. Sementara rakyat yang tidak tau apa-apa tidak tau prosedur atau internet pasti kalah dengan orang-orang yang pintar yang memang licik," kesal Yudi, saat dikonfirmasi KBR dari Jakarta, Kamis (4/2/21)
Yudi mencontohkan, masih banyaknya sengketa lahan milik rakyat yang belum terselesaikan di Garut.
"Beberapa di antaranya ada yang masih bersengketa selama puluhan tahun," katanya.
Yudi meminta pemerintah menyelesaikan konflik-konflik agraria di masyarakat, sebelum beralih membahas teknologi digital di bidang pertanahan.
Sementara itu, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/ BPN) seharusnya menyelesaikan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia, bukan mendigitalisasikan sertifikat.
"Langkah pensertifikatan atau legalisasi tanah dan proses digitalisasinya sekarang yang dikeluarkan Permen terbaru ini seharusnya menjadi langkah terakhir, ketika negara kita sudah menjalankan pendaftaran tanah sebagaimana dimandatkan UU Pokok Agraria sejak Tahun 1960," kata Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika kepada KBR, Kamis (4/2/21).
Menurutnya, implementasi digitalisasi sertifikat tanah yang dimulai dari tanah pemerintah, baru kemudian diikuti badan usaha, justru berpotensi memperparah konflik agraria.
Pemerintah, kata Dewi, semestinya menuntaskan konflik agraria antara rakyat dengan pemerintah atau badan usaha terlebih dahulu.
"Negara justru berpotensi memperparah konflik agraria, mengukuhkan ketimpangan, monopoli tanah oleh badan-badan usaha skala besar," kesalnya.
Sementara dari sisi hukum pun, katanya, masyarakat berhak menyimpan sertifikat dalam bentuk fisik, dan sertifikat elektonik hanya sebagai pelengkap.
"Belum lagi dari segi keamanan yang belum terjamin dari potensi dibajak," kata Dewi.
Tidak hanya itu, digitalisasi sertifikat nantinya hanya akan ramah diakses masyarakat perkotaan dan dari kalangan menengah ke atas.
"Sebaliknya, bakal jadi kesulitan bagi masyarakat yang tinggal di daerah yang tidak mempunyai akses teknologi dan infrastruktur yang mendukung," ungkap Dewi.
Menteri ATR/BPN Klaim Sertifikat Elektronik Aman
Menteri Agraria dan Tata Ruang atau Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Sofyan Djalil mengklaim perubahan sertifikat tanah dari analog ke digital aman.
Menurutnya sistem terkait digitalisasi sertifikat ini aman dan efisien, serta sesuai dengan perkembangan zaman.
“Banyak kontroversi di masyarakat, sebenarnya karena salah kutip, atau dikutip di luar konteks. Sehingga seolah-olah sertifikat elektronik ini akan merugikan masyarakat. Untuk diketahui sebenarnya ini produk elektronik itu adalah paling aman, dulu kita punya bank itu harus ada buku, sekarang buku nggak ada lagi. Oleh sebab itu kalau ada berita di masyarakat nanti akan dibilang, itu adalah salah kutip atau dikutip di luar konteks yang pasti BPN tidak akan menarik sertifikat masyarakat,” ujar Sofyan, dalam webinar bersama PWI, Kamis (04/02/2021).
Sofyan menegaskan, kementeriannya tidak akan menarik sertifikat analog milik masyarakat, hingga rencana digitalisasi sertifikat ini disempurnakan.
Ia juga meminta masyarakat melapor, jika ada yang mengaku sebagai petugas kementerian dan meminta sertifikat tanah mereka.
“Tolong sampaikan kepada masyarakat, BPN tidak akan pernah menarik sertifikat. Oleh sebab itu kalo ada nanti gara-gara berita itu orang kemudian mengaku orang BPN, mau mengambil sertifikat jangan dilayani. Kita tidak akan pernah menarik sertifikat yang ada, dan sertifikat yang ada berlaku sampai nanti dialihkan dalam bentuk media elektronik,” tambah Sofyan Djalil.
Oleh : Astri Septiani, Dwi Reinjani
Editor: Kurniati Syahdan